TAFSIR QS.AL-BAQARAH:183 (PUASA RAMADHAN)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Puasa Dibulan suci Ramadhan mengajarkan kepada kita sebagai umat Islam, untuk wajib menjalankannya, karena ini merupakan syari’at dan perintah dari Allah Ta’ala. Dengan berpuasa maka kita menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bertambahnya ketaatan seorang hamba ini menunjukkan sebuah ketakwaan, dan berkurangnya kemaksiatan, karena menjauhi perkara-perkara yang diharamkan-Nya selama bulan suci Ramadhan yang berjalan 29 atau 30 hari lamanya.
Penulis mengutip salah satu tafsir dari seorang mufasir yaitu Tafsir As-Sa’di buah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 Hijriyah, tentang makna dari Surah Al-Baqarah:183, dimana beliau menafsirkan ayat tersebut diatas sebagai berikut:
- Allah mengabarkan tentang segala yang Dia karuniakan kepada hamba-hambaNya dengan cara wajibkan atas mereka berpuasa sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa itu atas umat-umat terdahulu, karena puasa itu termasuk di antara syariat dan perintah yang mengandung kemaslahatan bagi makhluk di setiap zaman.
Puasa juga menambah semangat bagi umat ini yaitu dengan melompat lomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal perbuatan dan bersegera menuju kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan puasa itu juga bukanlah suatu perkara sulit yang khusus bagi kalian.
Kemudian Allah menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa dalam merealisasikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Dan diantara bentuk yang meliputi ketaqwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan Jima, dan semacamnya yang sangat diinginkan oleh nafsunya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala dalam meninggalkan hal tersebut. Ini merupakan bagian ketakwaan.
Dan diantaranya juga adalah bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya untuk selalu merasa diawasi oleh Allah, maka dia meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya.
Yang lain bahwasanya puasa itu mempersempit jalan masuk setan, karena setan itu berjalan dalam tubuh manusia seperti jalannya darah, maka puasa akan melemahkan pengaruhnya dan meminimumkan kemaksiatan.
Diantaranya juga bahwa seorang yang berpuasa biasanya akan bertambah ketaatannya, dan ketaatan itu adalah gambaran dari ketakwaan.
Yang lainnya lagi adalah bahwa orang yang kaya bila merasakan susahnya kelaparan, pasti ia menghibur kaum miskin, dan ini pun termasuk gambaran ketakwaan.[1]
Dalam menjalankan Ibadah Saum (puasa) di bulan suci Ramadhan ini, betapa kita di uji oleh-Nya dengan perkara-perkara yang halal menjadi perkara yang haram di siang harinya, seperti makan dan minum, jimak antara suami dan istri, tidak berdusta dan berkata kotor dengan cara menjaga lisan dengan banyak berdzikir, melantunkan kitab suci Al-Qur’an dan sebagainya. Puasa juga melatih diri kita untuk selalu menahan hawa nafsu yang datangnya dari Syaithon, dan selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu sebagaimana apa yang telah dijalankan oleh orang-orang terdahulu tentang wajibnya puasa Ramadhan maka hal demikian berlaku pula untuk orang-orang beriman dimasa kini. Dimana tujuan utama dari puasa Ramadhan supaya menjadi orang-orang yang bertaqwa. Taqwa merupakan rasa takut seorang hamba untuk tunduk dan patuh pada perintah syari’at Allah Ta’ala dengan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Dengan demikian secara otomatis manusia akan berlomba-lomba dalam hal kebaikan di bulan yang penuh berkah dan maghfiroh dari-Nya, yang hanya di dapatkan setahun sekali selama satu bulan penuh.
Diterangkan dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang batasan dimulainya puasa Ramadhan dan berakhirnya puasa, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua muhaditsin yaitu Bukhari dan Muslim, berbunyi sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika kalian telah melihatnya (hilal Ramadhan), maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Dan apabila kalian terhalangi (untuk melihatnya), maka perkirakanlah (hitungan) nya.” (Muttafaq,alaih).[2]
Dalam riwayat Muslim,[3]
“Jika kalian terhalangi (untuk melihatnya), maka perkirakanlah [ia] menjadi tiga puluh hari.“
Dalam riwayat al-Bukhari,[4]
“Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari.”
Dan dalam riwayat al-Bukhari lainnya dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu,[5]
“Maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”
Berdasarkan keterangan hadits-hadits tersebut diatas maka perintah syari’at tentang wajibnya puasa Ramadhan dalam surat Al-Baqarah:183, bagi orang-orang yang beriman, diperjelas batas awal dari bulan ramadhan setelah berakhirnya bulan Sya’ban dan batas akhirnya sebelum memasuki bulan syawal, yaitu dengan melihat hilal.
>>>>>
>>>>>
Ditulis dan Dirangkum kembali oleh: Ummi_Laina
(Bekasi-City, 17 Ramadhan 1445 Hijriyah / 28 Maret 2024 Masehi)
DESIGN DAN ARTIKEL BY:
AZZAHROTUN.COM
Sumber/Rujukan
[1] Referensi : https://tafsirweb.com/687-surat-al-baqarah-ayat-183.html
[2] Kitab Bulughul Maram (Himpunan Hadits-Hadits Hukum Dalam Fikih Islam), oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bab.5 Kitab Puasa, hal.339-340, Penerbit: Darul Haq.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim, 2/759.
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 3/34.
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 3/35.