HADITS KE-1 AMAL TERGANTUNG DARI NIAT
عَنْ أَمِيرِ المُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوُلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ»
رَوَاهُ إِمَامَا المُحَدِّثِيْنَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ المُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهَ البُخَارِيُّ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ، فِي صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الكُتُبِ المُصَنَّفَةِ
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.”
Diriwayatkan dua imam ahli hadits: Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qushairi An-Naisaburi di kedua kitab Shahihnya yang merupakan dua kitab paling shahih yang pernah disusun. (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
PENJELASAN HADITS
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya
Setiap amal perbuatan yang dilakukan harus disertai dengan niat. Menurut para Muhaqqiq (peneliti) bahwa lafazh إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ mengandung arti hashr (pembatasan).
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa sebagian riwayat menggunakan kata ‘amal dalam lafazh jamak (plural) yaituالأَعْمَالُ karena perbuatan itu jumlahnya sangat banyak, sedangkan kata niyat dalam bentuk mufrad (tunggal) karena tempat niat itu di dalam hati, maksudnya hati itu satu (tunggal).
Setiap amal perbuatan itu pasti membutuhkan pelakunya, sehingga kalimat dari الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ secara lengkap yaitu الأَعْمَالُ الصَّادِرَةُ مِنَ الْمُِكَلّفِين maknanya perbuatan yang berasal dari orang-orang mukallaf (orang yang dikenai beban syariat). Dengan demikian muncul sebuah pertanyaan apakah perbuatan orang kafir termasuk dalam kategori ini? Jawabannya tidak termasuk, karena maksud perbuatan dalam hadits ini adalah ibadah, sehingga orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini, walaupun mereka diperintahkan untuk melaksanakan dan mendapatkan hukuman apabila meninggalkannya.
Lafazh بِالنِّيَّاتِ (dengan niat), bahwa huruf ba‘ berarti mushahabah ( menyertai) dan makna lainnya sababiyah (menunjukkan sebab).
Pendapat ulama tentang makna Niat sbb:
- Imam Nawawi : “Niat berarti maksud yaitu keinginan yang ada di dalam hati.”
- Baidhawi: “Niat berarti dorongan hati untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syari’at adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridh[ai Allah Azza wa Jalla dan mengamalkan segala perintah-Nya.
Dikalangan para ulama ahli fiqih, mereka berselisih pendapat dalam menentukan apakah niat termasuk ke dalam rukun atau syarat? Maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.
Sebagian ulama tidak mensyaratkan niat dalam melakukan suatu perbuatan. Perbedaan tersebut bukan pada tujuannya tapi pada sarana atau wasilah nya. Madzhab Hanafi tidak mensyaratkan niat dalam wudhu, juga Al Auza’i tidak mensyaratkan niat dalam tayamum. Diantara ulama terjadi perbedaan pendapat terkait masalah ini, inti perbedaan tersebut terletak pada apakah niat harus disertakan dalam permulaan suatu perbuatan atau tidak, sebagaimana yang dijelaskan dalam pembahasan fiqih.
وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى
dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya
Pendapat ulama mengenai kalimat ini:
- Imam Al Qurthuby: “Kalimat ini menguatkan bahwa suatu perbuatan harus disertai dengan niat dan keikhlasan mendalam.”
- Ulama lain berkata: “Kalimat ini membahas permasalahan yang berbeda dengan kalimat pertama yaitu seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang diniatkan.”
- Ibnu Daqiq Al ‘I’d: “Kalimat kedua mempunyai arti barangsiapa yang berniat maka akan mendapatkan pahala, baik niat itu dilaksanakan atau tidak sebab alasan syari’at, dan setiap perbuatan yang tidak diniatkan tidak mendapatkan pahala.” Maksud tidak diniatkan adalah tidak ada niat baik secara khusus maupun umum. Tetapi apabila seseorang hanya berniat secara umum, terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam permasalahan ini.
- Imam Nawawi: “Kalimat kedua menunjukkan arti bahwa suatu pekerjaan harus disertai niat tertentu, seperti orang yang menqadha shalat, tidak cukup hanya dengan niat melakukan qadha shalat, tetapi harus disertai dengan niat menghadapi shalat yang akan dilaksanakan, apakah shalat ashar atau zhuhur.”
- Ibnu Salam: “Kalimat pertama إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ menjelaskan apa yang termasuk dalam kategori perbuatan, sedangkan kalimat kedua وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى menjelaskan tentang akibat dari suatu perbuatan.
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوُلِهِ
Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya
Makna lafazh هِجْرَتُهُ (hijrahnya)
Hijrah bermakna meninggalkan, dan hijrah kepada suatu tempat berarti pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut syari’at hijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.
Dalam islam hijrah mempunyai dua pengertian;
- Pindah dari tempat yang menakutkan ke tempat yang tenang, seperti hijrah ke Negeri Habasyah dan hijrah pertama kali dari Mekkah ke Madinah.
- Hijrah dari negeri kafir ke negeri iman, seperti hijrahnya kaum Muslimin ke Madinah setelah Rasulullah menetap disana. Hijrah pada waktu itu khusus berpindah ke Madinah, sampai dibukanya kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah itu hijrah tidak dikhususkan lagi, melainkan mempunyai makna umum, yaitu berpindah dari negeri kafir bagi siapa yang memiliki kemampuan.
Kemudian bagi siapapun yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, yakni hijrah untuk mengingat kebesaran Allah dan Rasul-Nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, menjadi pembela Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka hijrahnya tersebut ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya.
وَمَنُ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.”
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hakekat dunia:
I. Sebagian orang mengatakan bahwa hakekat dunia adalah apa yang ada di atas bumi berupa udara dan angkasa.
2. Sebagian lainnya mengatakan bahwa dunia adalah setiap makhluk yang diciptakan
3. Pendapat yang kuat adalah semua apa yang ada di atas bumi berupa udara dan angkasa sebelum datang hari kiamat.
Adapun apabila disebut salah satu bagian dari dunia tanpa disebutkan secara keseluruhan termasuk bentuk majaz (kiasan).
Kemudian disebutkan kata perempuan أَوِ امْرأَةٍ secara khusus setelah kata umum (dunia). Sebab munculnya hadits ini adalah cerita seorang muslim yang ikut berhijrah dengan maksud dan tujuan ingin menikahi seorang perempuan sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qais . Menurut riwayat Ibnu Dihyah, bahwa nama perempuan itu adalah Qailah.
Menurut riwayat Ibnu Baththal dari Ibnu Siraj tentang manfaat disebutkan kata mar’ah (perempuan) secara khusus dikarenakan kebiasaan orang Arab yang tidak mau mengawinkan anak perempuan mereka dengan hamba sahaya, karena mereka sangat menjaga kehormatan keturunannya. Kemudian ketika Islam datang membawa ajaran dimana di dalam pernikahan tidak membedakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, Islam telah menghapus kesetaraan yang tidak pada tempatnya.
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ ( maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan).
Misalnya seseorang berhijrah disertai niat untuk menikahi seorang perempuan, maka dia tidak mendapatkan pahala seperti orang yang hanya berniat hijrah dengan tulus karena Allah dan Rasul-Nya atau menikah saja tanpa ada niat hijrah, maka orang tersebut tetap mendapatkan pahala dari hijrahnya jika penggabungan niat antara mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan pernikahan.
Hal tersebut diatas seperti terjadi pada peristiwa masuk Islam sahabat Thalhah sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Anas, ia berkata:
“Abu Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam, karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu daripada Abu Thalhah, maka ketika Abu Thalhah melamarnya, Ummu Sulaim berkata: “Aku sduah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya bersedia dikawini.”
Kemudian Abu Thalhah masuk Islam dan menikahi Ummu Sulaim. Adanya penggabungan dua niat yaitu Niat Hijrah dan niat menikah dengan seorang wanita (mar’ah). Seperti juga orang yang berpuasa dengan niat ibadah dan menjaga kesehatan.
Pendapat Ulama Al-Imam Ghazali beliau menggarisbawahi bahwa:
“Apabila keinginan untuk memperoleh dunia lebih besar dari keinginanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya antara keinginan untuk mendapatkan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, ia tetap tidak mendapatkan pahala.”
Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya.
KESIMPULAN HADITS
Adanya larangan untuk melakukan sesuatu sebelum mengetahui hukumnya secara jelas, karena suatu pekerjaan yang tidak didasari niat, maka pekerjaan itu akan sia-sia (percuma). Dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan tidak mengetahui hukumnya secara jelas, maka niatnya tidak sah. Tetapi orang yang lalai tidak termasuk dalam hukum ini, karena setiap perbuatan harus dikerjakan dengan kesadaran diri, sedangkan orang yang lalai tidak mempunyai maksud. Umpamanya adalah seseorang melakukan puasa sunnah dengan niat sebelum tergelincirnya matahari, maka seseorang tersebut akan mendapatkan pahala dari waktu dia memulai niatnya, dan ada juga berpendapat bahwa orang tersebut tetap mendapat pahala puasa yang sempurna. Kesimpulan lainnya mengenai hadits ini adalah yang tidak termasuk dalam kategori pekerjaan tidak memerlukan niat, seperti shalat jama’ taqdim menurut pendapat paling benar tidak diperlukan niat. Konteks hadits tersebut diatas juga berkisah tentang hijrahnya seseorang untuk tujuan menikahi seorang perempuan, maka disebutkannya “dunia” dalam hadits ini dengan tujuan memberi peringatan kepada manusia untuk selalu berhati-hati dengan gemerlapnya dunia. Syaikh Islam mengatakan: “Konteks penjelasan hadits tersebut adalah umum walaupun mempunyai sebab khusus” maka kesimpulannya dasar dalam menentukan hukum adalah lafadz nash secara umum, bukan sebab-sebab khusus. Disebutkan kata “dunia” secara umum, dan “perempuan” secara khusus.
Ditulis dan dirangkum oleh:
UmmiLaina Mokodongan
Bekasi_City, Rabi’ul Awwal I443 H/Oktober 2022 M
Artikel dan design by: www.azzahrotun.com
Sumber : Kitab Fathul Baari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Pustaka Azzam.
https://www.terjemahmatan.com/